DUIT MENGALIR KE TRUMP, DARAH MENGALIR DI GAZA : IRONI DUNIA ARAB

Oleh : Dr. La Ode Mahmud, M.Si

(Pemerhati Sosial, Ekonomi dan Politik Islam)

Saya menilai langkah negara-negara Arab yang menggelontorkan investasi triliunan rupiah ke Donald Trump, di tengah penderitaan rakyat Palestina, sebagai pengkhianatan moral, politik, dan kemanusiaan. Ini bukan sekadar kebijakan ekonomi, tapi isyarat telanjang bahwa sebagian rezim Arab telah membuang nurani dan memilih berada di kubu penjajah.
 
Baru-baru ini, Presiden AS Donald Trump mengumumkan investasi besar-besaran dari negara-negara Arab ke Amerika Serikat. Arab Saudi, misalnya, menandatangani komitmen investasi senilai 600 miliar dolar AS dalam berbagai sektor. Uni Emirat Arab menyusul dengan rencana investasi 1,4 triliun dolar AS dalam teknologi dan kecerdasan buatan. Bila digabungkan, total nilai komitmen mencapai lebih dari 2 triliun dolar AS, atau sekitar Rp32.000 triliun.
 
Yang lebih ironis, investasi ini diumumkan hampir bersamaan dengan laporan memburuknya krisis kemanusiaan di Gaza. Menurut Reuters, lebih dari 53.000 warga Palestina telah menjadi korban dalam agresi Israel, dengan jumlah korban sipil meningkat drastis dalam dua pekan terakhir. Dalam situasi yang memprihatinkan ini, Trump bahkan mengusulkan “zona kebebasan di Gaza” yang sejatinya merupakan bentuk relokasi paksa atas rakyat Palestina.
 
Pertanyaannya, bagaimana mungkin dunia Arab justru mengucurkan miliaran dolar kepada tokoh yang secara nyata mendukung agresi Israel terhadap Palestina? Bukankah Trump selama ini dikenal sebagai tokoh paling pro-Israel, yang memindahkan kedutaan besar AS ke Yerusalem dan membela semua tindakan militer Israel, tak peduli sebrutal apapun?
 
Langkah ini bukan sekadar menyakitkan tetapi juga membongkar wajah asli dari sebagian elite Arab. Mereka lebih takut kehilangan kekuasaan dan keuntungan ekonomi daripada mempertahankan kehormatan dan solidaritas umat.
 
Lebih jauh, ini menunjukkan bahwa negara-negara Arab yang selama ini menyuarakan kepedulian terhadap Palestina, sejatinya hanya memainkan sandiwara diplomatik. Ketika rakyat Gaza hidup dalam kegelapan tanpa listrik, air bersih, dan makanan layak, para penguasa Arab justru bersalaman hangat dengan pelindung utama Israel dan mengalirkan dana segar ke negerinya.
 
Dalam perspektif Islam, tindakan semacam ini jelas tercela. Islam mewajibkan pembelaan terhadap kaum tertindas dan penjagaan kehormatan umat.
 
Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum Muslim, maka ia bukan bagian dari mereka. ” (HR. Al-Hakim).
 
Lebih dari itu, menjalin hubungan mesra dengan pihak penjajah dan pelindungnya adalah bentuk wala’ (loyalitas) yang keliru dan haram secara syar’i.
Situasi ini menunjukkan bahwa solusi untuk Palestina tidak akan datang dari konferensi internasional, apalagi dari penguasa boneka yang lebih mementingkan investasi daripada perlawanan. Solusi sejati hanya akan datang dari sistem yang menjadikan pembelaan terhadap kaum tertindas sebagai prinsip dasar yakni sistem Khilafah Islamiyah.
 
Hanya Khilafah yang dapat memobilisasi kekuatan militer dan diplomatik umat Islam untuk membebaskan tanah Palestina. Hanya Khilafah yang menjadikan darah umat lebih berharga daripada kontrak dagang dengan negara penjajah. Selama dunia Islam tidak memiliki satu entitas politik yang independen dan ideologis, tragedi seperti Gaza akan terus berulang dan penguasa seperti hari ini akan terus menjadi antek yang tersenyum di atas penderitaan saudaranya sendiri.
 
Saya menyerukan kepada seluruh kaum Muslim, khususnya intelektual dan aktivis dakwah, untuk menghentikan romantisme terhadap solusi-solusi semu. Saatnya menyuarakan perubahan sistemik, membangun kesadaran politik Islam, dan menolak segala bentuk kompromi dengan penjajah.
Dan kepada para penguasa Arab, sejarah akan mencatat siapa yang berdiri bersama rakyat tertindas, dan siapa yang menjual mereka demi investasi dan kekuasaan. Pilihannya hanya dua, menjadi pelindung umat atau menjadi kaki tangan penjajah [].
Scroll to Top
0